GATS mode 4, Liberalisasi Buruh dan Peminggiran PRT Migran

oleh: Thaufiek Zulbahary

Liberalisasi sektor buruh migrant diatur dalam skema perdagangan internasional GATS mode  ke 4, dimana mode suplainya dalam bentuk seseorang yang melakukan perjalanan dari Negara asalnya untuk memberikan pelayanan di Negara lain, secara resmi dikenal sebagai ‘movement of natural persons’. GATS mode 4 hanya mencakup orang yang berpindah secara sementara. Negara dapat menegosiasikan berapa lama mereka tinggal berdasarkan jenis pekerjaannya.  Orang-orang yang diatur dalam skema GATS mode 4 dibedakan dari orang-orang dari badan hukum seperti perusahaan dan organisasi. Negara-negara dapat bebas menentukan kemana liberalisasi berbasis sektor, termasuk mode suplai yang mana yang akan dicakup untuk sektor-sektor tersebut.

Dengan status ‘temporary movement’ dari individu pemberi jasa, artinya menyamakan dengan pergerakan barang dan modal, pelaksanaan GATS mode 4 merupakan bentuk strategi penyediaan buruh murah dengan justifikasi bahwa melalui remitansi, Negara asal buruh migrant akan meningkat secara ekonomi dan menurunkan kemiskinan.

Melalui skema semacam perdagangan manusia sebagai komoditas perburuhan, skema ini membuka ruang adanya jebakan global dalam bentuk system kontrak pekerja yang eksploitaitif dengan control dari majikan dan Negara. Pekerja kemudian tidak mempunyai akses pada keadilan dan berbagai hak-haknya.

Deregulasi ini telah membawa pada titik dimana buruh migrant tidak lagi dipandang sebagai manusia yang mempunyai martabat dan hak-hak dasar tetapi dipandang sebagai mesin produksi global semata.

Road Map Zero Domestic Workers 2017:  Peminggiran dan Diskriminasi PRT Migran

Di Indonesia, implementasi GATS mode 4 oleh Indonesia antara lain dapat mengarah pada peminggiran dan diskriminasi PRT-Migran.

Situasi rentan yang marak kekerasan yang  terjadi pada PRT Migran disikapi Pemerintah bukan dengan meningkatkan perlindungan, namun justru dengan secara bertahap akan menghentikan penempatan PRT Migran dan mempromosikan penempatan melalui program Road Map Zero Domestic Workers 2017.

Pada bulan Januari 2012, Menakertrans Muhaimin Iskandar bahwa pemerintah telah membangun sebuah road map (peta jalan) mengenai Zero Domestic Workers. Road map tersebut menargetkan bahwa penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sektor informal ke luar negeri secara beratahap akan dihentikan dan akan berakhir pada tahun 2017 sampai ke titik nol (zero).  Penghentian bertahap sudah dimulai sejak awal 2012 hingga 2017.[1]  Selain Kemnakertrans, BNP2TKI juga telah mencanangkan peningkatan penempatan TKI formal pada 2012.

Pemerintah mendefinisikan TKI formal adalah mereka yang bekerja di luar negeri pada berbagai perusahaan atau organisasi yang berbadan hukum, memiliki kontrak kerja yang kuat, dilindungi secara hukum di negara penempatan sehingga relatif tidak mendapatkan permasalahan selama bekerja di luar negeri. Sedangkan TKI informal atau biasa disebut ”domestic worker” atau penata laksana rumah tangga menurut pemerintah adalah mereka yang bekerja di luar negeri pada pengguna perseorangan yang tak berbadan hukum sehingga hubungan kerjanya subyektif dan relatif rentan menghadapi permasalahan. Sebagai bagian dari dilaksanakan roadmap ini, atas nama perlindungan dan peningkatan kualitas TKI, pemerintah melakukan sejumlah langkah pengetatan dalam hal penempatan TKI Informal. Namun di sisi lain, pemerintah menggenjot penempatan TKI formal. Orientasi kerja TKI digeser  dari informal ke formal,  agar penempatan TKI fomal  terus meningkat jumlahnya dibandingkan tki informal yang bekerja sebagai penata laksana rumah tangga (PLRT), karena permasalahan dianggap banyak terjadi pada PLRT.

Kemenakertrans bahkan mengklaim bahwa selama 2012 sudah berhasil mencegah penempatan TKI informal sebanyak 50%.   Dari jumlah penempatan TKI selama 2012 sebanyak 494.609 orang itu ternyata lebih banyak TKI sektor formal yakni sebanyak 258.411 orang dibandingkan (domestic worker) atau penata laksana rumah tangga yakni sebanyak 236.198 orang. Padahal, berdasarkan data Kemenakertrans 2011, jumlah TKI formal meningkat hingga 264.756 orang (45,56% dari total penempatan TKI), sedangkan jumlah TKI informal sebanyak 316.325 orang (54,44%). Pada 2010, jumlah penempatan TKI formal hanya 259. 229 orang (30,14% dari total penempatan TKI), sedangkan jumlah penempatan informal 600.857 orang (69,86%).

Penghentian penempatan PRT adalah merupakan pembatasan terhadap hak atas kerja PRT Migran dan melanggar Prinsip Umum  yang diatur pasal 1 Konvensi Migran 1990, yaitu prinsip non diskriminasi. Roadmap juga telah melanggar hak buruh migrant yang sudah di jamin  Bagian III Konvensi  mengenai Hak Asasi seluruh buruh migran dan anggota keluarganya, yaitu Hak untuk meninggalkan suatu Negara termasuk negaranya sendiri maupun untuk kembali (pasal 8).

Roadmap ini menafikan tanggung jawab Indonesia sebagai Negara asal buruh migrant atas pelaksanaan Rekomendasi Umum CEDAW No. 26 mengenai Pekerja Migran Perempuan, yaitu: “Negara asal harus menghormati dan melindungi hak asasi perempuan warga negaranya yang bermigrasi dengan tujuan untuk bekerja (point 24)”. Roadmap ini melanggar CEDAW karena merupakan bentuk pembatasan hak perempuan untuk bermigrasi sehingga mengancam sumber pendapatan buruh migran perempuan dan keluarganya.

Bermigrasi merupakan hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia. Roadmap ini melanggar HAM buruh migran karena menghalangi buruh migran untuk bermigrasi. Migrasi BMI untuk tujuan bekerja harus dilihat dalam konteks sosial dan hak asasi manusia. Umumnya migrasi dilakukan akibat situasi kemiskinan yang dialami rakyat Indonesia. Sulitnya lapangan pekerjaan, membuat rakyat Indonesia memutuskan untuk berangkat ke luar negeri untuk bekerja, mendapat penghasilan dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Roadmap ini justru menghalangi hak rakyat Indonesia untuk menggunakan haknya untuk bekerja dan bermigrasi, di saat yang bersamaan negara tidak mampu memberikan jalan keluar atas persoalan kemiskinan.

Kebijakan dalam bentuk roadmap ini di saat sulitnya lapangan kerja di dalam negeri menyebabkan perempuan Indonesia yang hendak bekerja keluar negri sebagai PRT terperangkap pada situasi pemiskinan dan hilang akses dan kontrolnya untuk menopang beban hidupnya dan keluarganya. Beberapa pelanggaran HAM yang dialami PRT Migran di Luar negeri justru seringkali disebabkan oleh sikap abai  pemerintah Indonesia sendiri yang tidak responsif terhadap kebutuhan dan perlindungan hak PRT Migran. Harus diakui bahwa lemahnya kebijakan nasional dan sikap pemerintah yang belum mempunyai komitmen kuat untuk melindungi PRT migran berkontribusi terhadap perilaku buruk pihak pemerintah dan majikan di Negara tujuan seperti Arab Saudi dan Malaysia terhadap PRT migrant Indonesia.

Roadmap ini merupakan bentuk nyata dari mangkir-nya pemerintah dari tanggung jawab pemerintah untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya sebagaimana diatur dalam UUD 1945, pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 ayat 2), pengembangan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar (Pasal 28C, ayat 1), hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 28H, ayat 1), jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat (Pasal 28H, ayat 3), pemeliharaan fakir miskin dan anak-anak terlantar oleh negara (Pasal 34, ayat 1).

 

Rekomendasi

1. Meninjau ulang Roadmap Zero Domestic Workers 2017  dan merubahnya menjadi kebijakan Perlindungan hak-hak PRT Migran dan kerja Layak PRT (Road map of Decent Work for Domestic Workers). 

2. Segera meratifikasi Konvensi ILO 189 Mengenai Kerja Layak PRT

3. Mengesahkan RUU Perlindungan PRT

4. Mengoptimalkan instrumen Hak Asasi Manusia Internasional yang sudah diratifikasi kedua negara dalam upaya diplomatik perlindungan Buruh Migran di negara-negara tujuan seperti Arab Saudi dan Malaysia.

5. Mengoptimalkan fungsi dan peran perwakilan Indonesia di Arab Saudi, Malaysia dan  negara-negara lain tempat PRT Migant Indonesia bekerja, termasuk menyediakan alokasi sumber dana dan sumberdaya manusia.

6. Segera membangun Bilateral Agreement dengan pemerintah Negara Saudi Arabia dengan perjanjian yang menjamin hak-hak PRT Migran Indonesia.

7. Mengembangkan politik luar negeri yang lebih bermartabat, mengedepankan penegakan HAM untuk semua WNI khususnya PRT Migran, bukan politik luar negeri yang mementingkan kebutuhan pasar.

8. Indonesia keluar dari keanggotaan WTO, dan tidak mengimplementsikan GATS mode 4.

Leave a comment